Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Heboh! Gelombang Protes Mahasiswa Menolak Revisi UU TNI: Dampak, Aksi, dan Reaksi Masyarakat

 

Protes mahasiswa meletus menolak revisi UU TNI yang dinilai mengancam demokrasi. Simak alasan, dampak, dan perkembangan aksi di berbagai kota.
(Foto : mahasiswa demo tolak RUU TNI/dok.red)
Jakarta - Protes besar-besaran kembali terjadi di Indonesia pada Maret 2025, dipimpin oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Protes ini merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap pengesahan revisi UU TNI yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat sipil dan berpotensi melemahkan prinsip demokrasi di Indonesia. Mahasiswa, yang secara historis sering menjadi garda terdepan dalam mengawal demokrasi, berbondong-bondong turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap undang-undang ini.


Latar Belakang Protes Penolakan Revisi UU TNI

Aksi unjuk rasa ini tidak muncul secara tiba-tiba. Ada banyak faktor yang memicu kemarahan mahasiswa dan masyarakat sipil, terutama terkait kekhawatiran bahwa revisi UU TNI membuka peluang bagi militer untuk kembali terlibat dalam politik, seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Pada era tersebut, militer memiliki peran ganda (dwifungsi), yaitu sebagai kekuatan pertahanan sekaligus sebagai aktor politik. Hal ini ditakutkan akan terulang kembali melalui beberapa ketentuan dalam revisi UU TNI.


Dalam draf revisi yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ada beberapa pasal yang dianggap kontroversial, di antaranya terkait peningkatan wewenang militer dalam urusan keamanan dalam negeri serta perluasan fungsi tentara dalam penegakan hukum. Para penentang UU TNI baru ini, termasuk kelompok mahasiswa dan aktivis hak asasi manusia, menganggap revisi ini sebagai langkah mundur dalam upaya reformasi militer yang telah dilakukan sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998.


Aksi Protes di Berbagai Kota Besar

Protes yang terjadi pada akhir Maret 2025 ini melibatkan ribuan mahasiswa dari berbagai universitas besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan beberapa kota lain di Indonesia. Setiap aksi memiliki nuansa lokalnya masing-masing, tetapi pada intinya mereka menyampaikan pesan yang sama: menolak revisi UU TNI.


Di Jakarta, ratusan mahasiswa dari Universitas Trisakti dan beberapa universitas lain memulai aksi mereka di depan gedung DPR, yang merupakan simbol dari lembaga legislatif. Mahasiswa membawa spanduk dengan pesan-pesan yang jelas, seperti "Bawa Militer Kembali ke Barak" dan "Orde Baru Melawan Balik", yang menggambarkan ketakutan mereka akan kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil.


Sementara itu, di Yogyakarta, mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) juga ikut berpartisipasi dalam aksi protes. Mereka menuntut pembatalan revisi UU TNI, dengan alasan bahwa proses pengesahannya terlalu terburu-buru dan kurang transparan. Protes di Yogyakarta dipusatkan di beberapa lokasi strategis, seperti di depan kantor DPRD dan alun-alun kota.


Di Surabaya, mahasiswa bersama kelompok masyarakat sipil lainnya menggelar demonstrasi di depan Gedung Negara Grahadi. Mereka menyuarakan keprihatinan mereka terhadap ketentuan baru dalam UU TNI yang mereka nilai dapat melemahkan supremasi sipil dan membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi TNI.


Aksi serupa juga terjadi di daerah lain seperti Malang, Semarang, dan Merauke. Setiap kota memiliki kekhususan masing-masing dalam cara menyampaikan aspirasi mereka, tetapi fokus utama tetap menolak revisi UU TNI yang baru disahkan oleh DPR.


Respon Aparat Keamanan dan Insiden Kekerasan

Sayangnya, tidak semua aksi protes berlangsung damai. Di beberapa kota, aksi damai mahasiswa berubah menjadi bentrok dengan aparat keamanan. Di Malang, misalnya, terjadi insiden kekerasan terhadap jurnalis mahasiswa yang sedang meliput demonstrasi. Beberapa jurnalis tersebut dilaporkan mengalami penganiayaan fisik, termasuk pemukulan dan penangkapan. Insiden ini menambah panas suasana protes, karena mahasiswa menilai aparat keamanan bertindak secara represif dalam menghadapi aksi damai mereka.


Di Semarang, aksi protes mahasiswa juga berujung pada bentrokan dengan aparat kepolisian. Beberapa mahasiswa dilaporkan ditangkap dan dipukuli oleh aparat meskipun mereka tidak melakukan tindakan provokatif. Tindakan represif ini memicu reaksi keras dari kelompok mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang menuntut agar aparat keamanan menghormati hak warga negara untuk menyampaikan pendapat secara damai.


Sorotan Media Internasional

Gelombang protes mahasiswa ini tidak hanya mendapat perhatian di dalam negeri, tetapi juga menarik perhatian media internasional. Beberapa media asing melaporkan bahwa Indonesia, yang selama ini dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, sedang mengalami ketegangan antara mahasiswa dan pemerintah. Mereka juga menyoroti dampak revisi UU TNI terhadap kebebasan sipil di Indonesia dan kemungkinan kembalinya pengaruh militer dalam politik.


Beberapa analis politik internasional memperingatkan bahwa jika revisi UU TNI ini dibiarkan tanpa ada perubahan, Indonesia mungkin akan menghadapi risiko mundurnya demokrasi. Mereka menekankan pentingnya pemerintah Indonesia mendengarkan aspirasi masyarakat dan mahasiswa, serta memastikan bahwa proses legislasi dilakukan secara transparan dan akuntabel.


Reaksi Pemerintah dan DPR

Meski gelombang protes semakin meluas, baik pemerintah maupun DPR tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan merevisi keputusan mereka terkait pengesahan UU TNI. Beberapa anggota DPR justru menyatakan bahwa revisi UU TNI diperlukan untuk memperkuat peran TNI dalam menjaga keamanan nasional, terutama dalam menghadapi ancaman terorisme dan separatisme.


Namun, sejumlah tokoh politik dan masyarakat sipil lainnya menilai bahwa alasan tersebut tidak cukup untuk mengabaikan kekhawatiran tentang kembalinya dwifungsi militer. Mereka mendesak pemerintah untuk membuka dialog dengan mahasiswa dan masyarakat sipil, serta melakukan peninjauan ulang terhadap beberapa pasal yang dianggap kontroversial dalam UU TNI.


Pentingnya Proses Legislasi yang Transparan dan Partisipatif

Dalam sistem demokrasi, proses legislasi harus dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Hal ini menjadi penting agar undang-undang yang disahkan benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat luas. Revisi UU TNI yang kontroversial ini menunjukkan bahwa masih ada celah dalam proses legislasi di Indonesia, di mana keputusan besar seperti ini bisa diambil tanpa konsultasi yang memadai dengan berbagai pihak yang berkepentingan.


Mahasiswa, sebagai bagian dari elemen masyarakat yang kritis dan peduli terhadap masa depan negara, berhak menyuarakan pendapat mereka. Protes yang mereka lakukan adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR perlu mendengarkan aspirasi mereka, bukan justru merespons dengan tindakan represif.


Kesimpulan

Protes mahasiswa menolak revisi UU TNI merupakan simbol dari ketidakpuasan masyarakat terhadap proses legislasi yang kurang transparan dan partisipatif. Gelombang aksi ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan upaya menjaga supremasi sipil atas militer. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat serta menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan susah payah sejak reformasi 1998.


Posting Komentar untuk "Heboh! Gelombang Protes Mahasiswa Menolak Revisi UU TNI: Dampak, Aksi, dan Reaksi Masyarakat"